Makalah ullumul qur'an
NASIKH WA MANSUKH
Disusun
Oleh:
SITI NARUMI HENA AYUNITA
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI
SUMATRA
UTARA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Salah
satu tema dalam ulum AL-Qur’an yang mengandung perdebatan para ulama adalah
mengenai nasikh-mansukh. Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada
atau tidaknya ayat-ayat nasikh dalam al-qur’an , diantaranya pendapat yang
menentang adanya nasik, pendapat yang berlebihan, dan pendapat dari jumhur
ulama.
Pendapat
diantara mereka yang menentang adanya nasikh ditentang oleh ibnu katsir, dan
pendapat dari jumhur ulama yang didasari atas dalil-dalil yang ada di dalam
al-quran yang menyatakan bahwa naskh itu memungkinkan terjadinya secara akal
dan juga dalam syariat islam.
1.2. Rumusan
Masalah
a.
Apa yang
dimaksud dengan Nasikh dan Mansukh ?
b.
Apa-apa saja
rukun dan syarat Nasikh dan Mansukh ?
c.
Bagaimana cara
mengetahui Nasikh dan Mansukh ?
d.
Apa dasar-dasar
penetapan Nasikh dan Mansukh ?
e.
Perbedaan
pendapat mengenai Nasikh ?
f.
Serta apa saja
hikmah Nasikh dan Mansukh ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah agar kita tau dan lebih memahami lagi tentang
Nasihk dan Mansukh , serta memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi
tentang nasikh dan mansukh.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Lafal nasikh terdapat dalam al-qur’an. Konteks
ayat yang mengandung lafal tersebut mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan,
pembatalan) dalam al-qur’an. Di sisi lain Allah berfirman dalam al-qur’an,
...وَلَوْكَانَ
مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللٌهِ لَوَ جَدُ وا فِيهِ ا خْتِلآ فًا كَثِيرً (النساء : 82)
Artinya
: Seandainya al-qur’an ini datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan
di dalam kandungannya ikhtilaf kontradiksi yang banyak (Qs. 4 : 82).
Ayat tersebut diyakini
kebenarannyanoleh setiap muslim. Namun para ulama berbeda pendapat tentang cara
menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukan kontradiksi. Dari sinilah,
antara lain, timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh.
Di dalam al-qur’an , kata nasikh
dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak empat kali, yaitu Qs. 2 : 106, Qs.
7 : 154, Qs. 22 : 52, dan Qs. 54 : 29. Dari segi etimologi, kata tersebut
berarti pembatalan, penghapusan. Pemindahan dari satu wadah ke wadah lain serta
pengubahan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh,
sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan disebut mansukh .
Para ulama sepakat tentang
ditemukannya nuansa ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam ayat-ayat al-qur’an.
dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas dinilai mengandung kontradiksi, mereka
berusaha memadukannya. Pemaduan tersebut oleh satu pihak ditempuh tanpa
menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus atau tak berlaku lagi,
dan ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan
kandungan ayat sebelumnya disebabkan perubahan kondisi sosial.
Secara terminologi, terdapat
perbedaan definisi nasikh. Para ulama mutaqaddimin abad ke-1 hingga mencakup
hal-hal berikut. Pertama, pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu
oleh hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian. Kedua,
pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian. Ketiga, penjelasan yang datang kemudian terhadap yang
bersifat samar. Keempat, penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang
belum bersyarat[1]. Bahkan
ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu menjadi mansukh apabila ada ketentuan
lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain. Misalnya, perintah untuk
bersabar, menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslimin lemah,
dianggap telah dinasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.
Ada pula yang beranggapan bahawa ketetapan hukum islam yang membatalkan hukum
yang berlaku pada masa pra islam merupakan bagian dari pengertian nasikh.
Pengertian yang demikian luas
dipersempit oleh ulama yang datang kemudian (muata’ akhirin). menurut
mereka nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna
membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirannya masa berlaku hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.
Menurut Al-Fakhrurrazi, di dalam
al-qur’an ada 3 jenis nasakh. Pertama, nasakh bacaan dan hukumnya. Kedua,
nasakh bacaan tetapi hukumnya tetap. Ketiga, nasakh hukum tetapi
bacaannya tetap. Ayat jenis pertama tidak boleh dibaca dan tidak boleh
diamalkan, sebab telah dinasakh secara keseluruhan. Seperti ayat tentang
penyusuan menjadikan kemahraman dengan sepuluh kali menyusu. Aisyah berkata : “Termasuk
al-qur’an yang pernah diturunkan, sepuluh kali menyusu yang diketahui dapat
manjadikan kemahraman, kemudian dinasikh dengan ketentuan lima kali menyusu
yang diketahui. Maka wafatlah Rasulullah, sedang ketutentuan ini tidak termasuk
ayat al-qur’an yang dibaca.”
Al-Fakhrurrazi berpendapat bahwa
bagian pertama, sepuluh kali menyusu dapat menjadikan kemahraman, itu
dinasikh hukum dan bacaannya, sedangkan bagian kedua, lima kali menyusu, itu
dinasikh bacaannya tapi hukumnya masih tetap.
Jenis kedua, isebagaimana
dikatakan Az-Zarkasyi dalam al-Burhan, wajib diamalkan apabila telah diterima
oleh umat, seperti konon tersurat dalam Surat an-nur. “janganlah kalian
memberi bapak-bapak kalian karena itu kafir bagi kalian”. Jenis kedua ini
sedikit terdapat dalam al-qur’andan jarang sekali ditemukan contohnya, karena
Allah menurunkan al-qur’an untuk dibaca sebagai amal ibadah dan untuk
penyusunan hukum-hukumnya.
Jenis ketiga, banyak sekali
ditemukan di dalam al-qur’an. hal ini adalah sesuatu yang dikehendaki oleh
syari’at. Contohnya, ayat tentang kiblat, “fa’ainama tuwallu fatsamma
wajhullah” (Qs. 2 : 115). Ayat tersebut dinasikh oleh ayat, “fawalli
wajhaka syathral masjidil haram” (Qs. 2 : 144)[2].
2.2.Rukun
dan Syarat Nasikh
Rukun-rukun naskh adalah :
1.
Adat nasikh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya
pembatalan hukum yang telah ada.
2.
Nasik, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang
telah ada.
3.
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau
dipindahkan.
4.
Mansukh’anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Syarat-syarat naskh adalah :
1.
Hukum yang di nasakh harus berupa hukum syara’ bukan
hukum yang lain.
2.
Dalil yang menghapuskan hukum syara’ itu harus berupa
dalil syara’, tidak boleh berupa dalil akal.
3.
Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada
tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama.
4.
Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada
pertentangan yang nyata, sehingga benar-benar tidak dapat dikompromikan.
2.3.Macam-macam
Nasakh
Pembagian nasakh ternyata
berbeda-beda, Abdul Wahab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu Zahrah membagi naskh
menjadi empat macam yaitu : Sahrih, dhimmy, juz’i, dan kulli.
1.
Nasakh sharih, ialah nasakh yang jelas tentang berakhirnya suatu
hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat sembahyang, dari menghadap bait
al-Maqdis diubah menjadi menghadap ka’bah. Contoh maka hadapkanlah wajahmu
kearah masjid haram (di mekah).
2.
Nasakh Dhimmi, yaitu nasakh secara implisit (tersirat) yang tidak
jelas. Nasakh ini diketahui karena adanya dua nash yang saling bertentangandan
tidak bisa dikompromikan, kemudian diketahui kedua nash itu datangnya tidak
sekaligus pada waktu yang sama. Maka dari itu ayat kedua berfungsi sebagai
Naskhat dan yang pertama menjadi mansukhat. Misalnya Qs. 2 : 234 tentang iddah
isteri yang ditinggal mati suaminya, yakni 4 bulan 10 hari me-nasikh-kan Qs. 2
: 240, tentang wasiat wasiat kepada isteri bahwaia tidak boleh keluar rumah
selama satu tahun.
3.
Nasakh kulli, yaitu pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya
secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada kedua orang tua
dan kerabat (Qs. 2 ; 180) oleh ayat mawaris yaitu Qs. 4 :
11-14.
4.
Nasakh juz’i, yaitu pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum
sebelumnya oleh hukum yang datang kemudian. Misalnya ayat tentang hukum jilid
(cambuk)80 kali untuk orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 orang saksi
(Qs. 24 : 4 oleh ayat li’an bagi semua istri (Qs. 24 : 7)). [3]
2.4.Cara
Mengetahui Nasikh dan Mansukh
1.
Penjelasan langsung dari Rasulullah
2.
Dalam suatu keterangan terkadang terdapat keterangan yang
menyatakan salah satu nash diturunkan terlebuh dahulu
3.
Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang
menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun
sekian.
2.5.Dasar-dasar
Penetapan Nasikh dan Mansukh
Manna Al-Qaththan menetapkan tiga
dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatan nasikh (menghapus) ayat lain
mansukh (dihapus), yaitu.
1.
Melalui pentrasmisian yang jelas dari Nabi dan Sahabat
2.
Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat
itu mansukh
3.
Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang
turun, karenanya disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut
mansukh.[4]
2.6.Perbedaan
Pendapat Mengenai Nasikh
a.
Pendapat yang menentang adanya nasikh
pendapat yang menentang adanya naskh dalam ayt-ayat Allah
SWT datang dari kalangan yahudi. Mereka berpendapat, jika Allah SWT mengganti
hukumnya, hal itu menunjukan bahwa Allah tidak mengetahui apa-apa yang akan
terjadi. Hal itu mustahil terjadi pada Allah SWTatau mereka ingin
mempertahankan ajaran agama dan menolak ajaran islamdengan dalih tidak mungkin
tuhan membatalkan ketetapan-ketetapan-Nya yang termaktub dalam taurat, Ibnu
Katsir membantah logika mereka, beliau mengatakan, “Tidak ada alasan yang
menunjukan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum sesuai
kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang di inginkan-Nya”.
Padahal sebenarnya mereka juga
mengetahui bahwa sebenarnya syariat Nabi Musa as datang menghapuskan syariat
nabi-nabi sebelumnya. Dalam kitab taurat pun telah ada hukum yang di-naskh.
Sebagai contoh, telah diharamkan bagi mereka beberapa jenis hewan yang
sebelumnya merupakan makanan yang halal bagi mereka. Sebagaimana yang
diceritakan oleh Allah SWT, semua makanan itu dihalalkan bagi Bani Israel,
kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) atas dirinya sebelum
Taurat diturunkan. Katakanlah Muhammad . “Maka bawalah Taurat lalu bacalah,
jika kamu orang-orang yang benar.”(Qs. Ali-Imran : 93).
Begitu pula di dalam Taurat, telah
disebutkan bahwa Nabi Adam as telah menikahkan anak laki-lakinya dengan anak
perempuannya. Hal ini telah diharamkan dalam syariat Nabi Musa as.
b.
Pendapat yang berlebihan
pendapat ini datang dari kelompok Rawafidh (pecahan dari
kelompok syiah), yang berlebihan dalam mengaplikasikan nasakh, mereka mengambil
dalil dari perkataan yang disandarkan pada sahabat Ali ra, bahwa maksud ayat. Allah
menghapus dan menetapkan apa yang dia kehendaki. (Qs. Ar-Ra’a : 39).
Allah SWT telah menampakkan
kepadamereka untuk bisa menghapus dan menetapkan suatu hukum. Padahal, pendapat
tersebut sebenarnya hanyalah tuduhan dan kebohongan mereka.
c.
Pendapat Imam al-Ashfahani
imam al-Ashfahani berpendapat bahwa
terjadinya naskh itu dibenarkan oleh akal, namun tidak oleh syari’at. Menurut
beliau, hukum-hukum Al-qur’an itu tidak akan batihl selamanya, dengan dalil, “Yng
tidak datang kepadanya (Al-qur’an)kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Qs.
Fushilat : 42).
Padahal maksud tersebut adalah
Al-qur’an tidak didahului dengan apa-apa yang bisa membuatnya batildari
kitab-kitab dan juga tidak ada yang bisa membuatnya bathil sesudahnya.
d. Pendapat jumhur Ulama
mereka mengatakan bahwa naskh itu memungkinkan terjadinya
secara akal dan juga dalam syariat islam. Dalil mereka adalah:
a.
Semua hal yang dilakukan oleh Allah tidak dihalangi oleh
tujuan-tujuan tertentu. Allah SWT Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk
hamna-Nya, sehingga Allah maha kuasa menetapkan satu waktu sekalipun.
b.
Nash-nash dalam
al-Qur’an dan Hadist telah menunjukan kemungkinan terjadinya naskh. Diantaranya
adalah, Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami
ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu
bahwa Allah maha Kuasa atas segala sesuatu? (Qs. Al-Baqarah : 106).
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja,” Sebenarnya
kebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Qs. An-Nahl : 101).[5]
2.7.Hikmah
Nasikh dan Mansuk
a.
Memelihara kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
b.
Perubahan syariat yang selalu menuju kesempurnaan sesuai
dengan perkembangan dakwah dan juga perkembangan kehidupan manusia.
c.
Sebagai ujian bagi manusia apakah ia akan tunduk pada
aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, ataukah ia akan melanggarnya.
d.
Merupakan kehendak Allah SWT untuk memberikan yang
terbaik bagi hamba-Nya, sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankan. Jika
hukum naskh memberatkan umat-Nya, Dia akan memberikan pahala yang lebih besar
dan kelaulah dengan hukum ini lebih meringankan, hal itu merupakan keringanan
bagi hamba-hamban-Nya.[6]
BAB III
PENUTUP
3.1.
kesimpulan
Nasikh merupakan membatalkan, menghapu, dan memindahkan,
sedangkan masuk adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan.terdapat ayat-ayat
di dalam al-qur’an yang merupakan nasikh mansuk seperti diantaranya surah
al-baqarah yang membahas tentang kiblat shalat. Dan sebagaimana muhammad abu
zahrah membagi naskh menjadi empat macam yaitu,Sharih,dhimmy, juz’i, dan kulli.
Serta hikmah adanya nasikh dan mansukh diantaranya :
1.
Menjaga kemaslahatan hamba
2.
Pengembangan pensyariattan hukum sampai pada tingkat
kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
3.
Menguji kwalitas keimanan mukhalaf dengan cara adanya
suruhan yang kemudian dihapus.
4.
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
3.2.saran
Demikian makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan
baik dalam penjelasan maupun dalam penulisan saya mohon maaf, saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga
menjadikan apa yang ditulis ini lebih baik di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Chirzin,Muhammad.1998.
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Ash-Shabuni,
Ali.M.1985. Tafsir Ayat-ayat Ahkam. Surabaya : Bina Ilmu.
Ulumul Qur’an
Tarbiyah ,editan 2.
Nizhan,Abu. 2008. Buku Pintar
AL-Qur’an. Jakarta : Qultum Media.
[1]
Muhammad Chirzin,1998,Al-qur’an
dan Ulumul qur’an, yogyakarta:PT Dana Bhakti Prima Yasa,hlm.39-40.
[2]
M.ali Ash Shabuni,1985,Tafsir
Ayat-ayat Ahkam,Surabaya:Bina Ilmu,hlm.58.
[3]
Ulum Al-qur’an Tarbiyah (editan
2),hal.56.
[4]
Ulum Al-qur’an Tarbiyah (editan
2),hal.57.
[5] Abu Nizhan,2008,Buku pintar al-Qur’an,Jakarta:qultum
media,hlm.39-41.
[6] Abu Nizhan,2008,Buku pintar al-Qur’an,Jakarta:qultum
media,hlm.41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar