bintang

Selasa, 17 Mei 2016

makalah ullumul qur'an



Makalah ullumul qur'an 



NASIKH WA MANSUKH

Disusun
Oleh:
SITI NARUMI HENA AYUNITA





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SUMATRA UTARA
2016


 




BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
            Salah satu tema dalam ulum AL-Qur’an yang mengandung perdebatan para ulama adalah mengenai nasikh-mansukh. Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat nasikh dalam al-qur’an , diantaranya pendapat yang menentang adanya nasik, pendapat yang berlebihan, dan pendapat dari jumhur ulama.
            Pendapat diantara mereka yang menentang adanya nasikh ditentang oleh ibnu katsir, dan pendapat dari jumhur ulama yang didasari atas dalil-dalil yang ada di dalam al-quran yang menyatakan bahwa naskh itu memungkinkan terjadinya secara akal dan juga dalam syariat islam.

1.2.  Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan Nasikh dan Mansukh ?
b.      Apa-apa saja rukun dan syarat Nasikh dan Mansukh ?
c.       Bagaimana cara mengetahui Nasikh dan Mansukh ?
d.      Apa dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh ?
e.       Perbedaan pendapat mengenai Nasikh ?
f.       Serta apa saja hikmah Nasikh dan Mansukh ?

1.3  Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita tau dan lebih memahami lagi tentang Nasihk dan Mansukh , serta memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi tentang nasikh dan mansukh.



  



BAB II 
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Nasikh dan Mansukh
            Lafal nasikh terdapat dalam al-qur’an. Konteks ayat yang mengandung lafal tersebut mengisyaratkan adanya nasikh (penghapusan, pembatalan) dalam al-qur’an. Di sisi lain Allah berfirman dalam al-qur’an,
...وَلَوْكَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللٌهِ لَوَ جَدُ وا فِيهِ ا خْتِلآ فًا كَثِيرً (النساء : 82)

Artinya : Seandainya al-qur’an ini datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan di dalam kandungannya ikhtilaf kontradiksi yang banyak (Qs. 4 : 82).
            Ayat tersebut diyakini kebenarannyanoleh setiap muslim. Namun para ulama berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukan kontradiksi. Dari sinilah, antara lain, timbulnya pembahasan tentang nasikh mansukh.
            Di dalam al-qur’an , kata nasikh dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak empat kali, yaitu Qs. 2 : 106, Qs. 7 : 154, Qs. 22 : 52, dan Qs. 54 : 29. Dari segi etimologi, kata tersebut berarti pembatalan, penghapusan. Pemindahan dari satu wadah ke wadah lain serta pengubahan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan disebut nasikh, sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan disebut mansukh .
            Para ulama sepakat tentang ditemukannya nuansa ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam ayat-ayat al-qur’an. dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas dinilai mengandung kontradiksi, mereka berusaha memadukannya. Pemaduan tersebut oleh satu pihak ditempuh tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus atau tak berlaku lagi, dan ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya disebabkan perubahan kondisi sosial.
            Secara terminologi, terdapat perbedaan definisi nasikh. Para ulama mutaqaddimin abad ke-1 hingga mencakup hal-hal berikut. Pertama, pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian. Kedua, pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. Ketiga, penjelasan yang datang kemudian terhadap yang bersifat samar. Keempat, penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat[1]. Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain. Misalnya, perintah untuk bersabar, menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslimin lemah, dianggap telah dinasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Ada pula yang beranggapan bahawa ketetapan hukum islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra islam merupakan bagian dari pengertian nasikh.
            Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh ulama yang datang kemudian (muata’ akhirin). menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirannya masa berlaku hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.  
            Menurut Al-Fakhrurrazi, di dalam al-qur’an ada 3 jenis nasakh. Pertama, nasakh bacaan dan hukumnya. Kedua, nasakh bacaan tetapi hukumnya tetap. Ketiga, nasakh hukum tetapi bacaannya tetap. Ayat jenis pertama tidak boleh dibaca dan tidak boleh diamalkan, sebab telah dinasakh secara keseluruhan. Seperti ayat tentang penyusuan menjadikan kemahraman dengan sepuluh kali menyusu. Aisyah berkata : “Termasuk al-qur’an yang pernah diturunkan, sepuluh kali menyusu yang diketahui dapat manjadikan kemahraman, kemudian dinasikh dengan ketentuan lima kali menyusu yang diketahui. Maka wafatlah Rasulullah, sedang ketutentuan ini tidak termasuk ayat al-qur’an yang dibaca.”
            Al-Fakhrurrazi berpendapat bahwa bagian pertama, sepuluh kali menyusu dapat menjadikan kemahraman, itu dinasikh hukum dan bacaannya, sedangkan bagian kedua, lima kali menyusu, itu dinasikh bacaannya tapi hukumnya masih tetap.
            Jenis kedua, isebagaimana dikatakan Az-Zarkasyi dalam al-Burhan, wajib diamalkan apabila telah diterima oleh umat, seperti konon tersurat dalam Surat an-nur. “janganlah kalian memberi bapak-bapak kalian karena itu kafir bagi kalian”. Jenis kedua ini sedikit terdapat dalam al-qur’andan jarang sekali ditemukan contohnya, karena Allah menurunkan al-qur’an untuk dibaca sebagai amal ibadah dan untuk penyusunan hukum-hukumnya.
            Jenis ketiga, banyak sekali ditemukan di dalam al-qur’an. hal ini adalah sesuatu yang dikehendaki oleh syari’at. Contohnya, ayat tentang kiblat, “fa’ainama tuwallu fatsamma wajhullah” (Qs. 2 : 115). Ayat tersebut dinasikh oleh ayat, “fawalli wajhaka syathral masjidil haram” (Qs. 2 : 144)[2].
2.2.Rukun dan Syarat Nasikh
Rukun-rukun naskh adalah :
1.    Adat nasikh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.    Nasik, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
3.    Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4.    Mansukh’anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Syarat-syarat naskh adalah :
1.    Hukum yang di nasakh harus berupa hukum syara’ bukan hukum yang lain.
2.    Dalil yang menghapuskan hukum syara’ itu harus berupa dalil syara’, tidak boleh berupa dalil akal.
3.    Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama.
4.    Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertentangan yang nyata, sehingga benar-benar tidak dapat dikompromikan.
2.3.Macam-macam Nasakh
            Pembagian nasakh ternyata berbeda-beda, Abdul Wahab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu Zahrah membagi naskh menjadi empat macam yaitu : Sahrih, dhimmy, juz’i, dan kulli.
1.      Nasakh sharih, ialah nasakh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat sembahyang, dari menghadap bait al-Maqdis diubah menjadi menghadap ka’bah. Contoh maka hadapkanlah wajahmu kearah masjid haram (di mekah).
2.      Nasakh Dhimmi, yaitu nasakh secara implisit (tersirat) yang tidak jelas. Nasakh ini diketahui karena adanya dua nash yang saling bertentangandan tidak bisa dikompromikan, kemudian diketahui kedua nash itu datangnya tidak sekaligus pada waktu yang sama. Maka dari itu ayat kedua berfungsi sebagai Naskhat dan yang pertama menjadi mansukhat. Misalnya Qs. 2 : 234 tentang iddah isteri yang ditinggal mati suaminya, yakni 4 bulan 10 hari me-nasikh-kan Qs. 2 : 240, tentang wasiat wasiat kepada isteri bahwaia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
3.      Nasakh kulli, yaitu pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat (Qs. 2 ; 180) oleh ayat mawaris yaitu Qs. 4 : 11-14.
4.      Nasakh juz’i, yaitu pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh hukum yang datang kemudian. Misalnya ayat tentang hukum jilid (cambuk)80 kali untuk orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 orang saksi (Qs. 24 : 4 oleh ayat li’an bagi semua istri (Qs. 24 : 7)). [3]

2.4.Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh
1.      Penjelasan langsung dari Rasulullah
2.      Dalam suatu keterangan terkadang terdapat keterangan yang menyatakan salah satu nash diturunkan terlebuh dahulu
3.      Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.

2.5.Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
            Manna Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus), yaitu.
1.      Melalui pentrasmisian yang jelas dari Nabi dan Sahabat
2.      Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
3.      Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.[4]

2.6.Perbedaan Pendapat Mengenai Nasikh
a. Pendapat yang menentang adanya nasikh
            pendapat yang menentang adanya naskh dalam ayt-ayat Allah SWT datang dari kalangan yahudi. Mereka berpendapat, jika Allah SWT mengganti hukumnya, hal itu menunjukan bahwa Allah tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Hal itu mustahil terjadi pada Allah SWTatau mereka ingin mempertahankan ajaran agama dan menolak ajaran islamdengan dalih tidak mungkin tuhan membatalkan ketetapan-ketetapan-Nya yang termaktub dalam taurat, Ibnu Katsir membantah logika mereka, beliau mengatakan, “Tidak ada alasan yang menunjukan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang di inginkan-Nya”.
            Padahal sebenarnya mereka juga mengetahui bahwa sebenarnya syariat Nabi Musa as datang menghapuskan syariat nabi-nabi sebelumnya. Dalam kitab taurat pun telah ada hukum yang di-naskh. Sebagai contoh, telah diharamkan bagi mereka beberapa jenis hewan yang sebelumnya merupakan makanan yang halal bagi mereka. Sebagaimana yang diceritakan oleh Allah SWT, semua makanan itu dihalalkan bagi Bani Israel, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah Muhammad . “Maka bawalah Taurat lalu bacalah, jika kamu orang-orang yang benar.”(Qs. Ali-Imran : 93).
            Begitu pula di dalam Taurat, telah disebutkan bahwa Nabi Adam as telah menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya. Hal ini telah diharamkan dalam syariat Nabi Musa as.

b. Pendapat yang berlebihan
            pendapat ini datang dari kelompok Rawafidh (pecahan dari kelompok syiah), yang berlebihan dalam mengaplikasikan nasakh, mereka mengambil dalil dari perkataan yang disandarkan pada sahabat Ali ra, bahwa maksud ayat. Allah menghapus dan menetapkan apa yang dia kehendaki. (Qs. Ar-Ra’a : 39).
            Allah SWT telah menampakkan kepadamereka untuk bisa menghapus dan menetapkan suatu hukum. Padahal, pendapat tersebut sebenarnya hanyalah tuduhan dan kebohongan mereka.

c. Pendapat Imam al-Ashfahani
            imam al-Ashfahani berpendapat bahwa terjadinya naskh itu dibenarkan oleh akal, namun tidak oleh syari’at. Menurut beliau, hukum-hukum Al-qur’an itu tidak akan batihl selamanya, dengan dalil, “Yng tidak datang kepadanya (Al-qur’an)kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Qs. Fushilat : 42).
            Padahal maksud tersebut adalah Al-qur’an tidak didahului dengan apa-apa yang bisa membuatnya batildari kitab-kitab dan juga tidak ada yang bisa membuatnya bathil sesudahnya.

 d. Pendapat jumhur Ulama
            mereka mengatakan bahwa naskh itu memungkinkan terjadinya secara akal dan juga dalam syariat islam. Dalil mereka adalah:
a.       Semua hal yang dilakukan oleh Allah tidak dihalangi oleh tujuan-tujuan tertentu. Allah SWT Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk hamna-Nya, sehingga Allah maha kuasa menetapkan satu waktu sekalipun.
b.      Nash-nash dalam al-Qur’an dan Hadist telah menunjukan kemungkinan terjadinya naskh. Diantaranya adalah, Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah maha Kuasa atas segala sesuatu? (Qs. Al-Baqarah : 106).
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya mengada-ada saja,” Sebenarnya kebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Qs. An-Nahl : 101).[5]

2.7.Hikmah Nasikh dan Mansuk
a.       Memelihara kemaslahatan hamba-hamba-Nya.
b.      Perubahan syariat yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga perkembangan kehidupan manusia.
c.       Sebagai ujian bagi manusia apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, ataukah ia akan melanggarnya.
d.      Merupakan kehendak Allah SWT untuk memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankan. Jika hukum naskh memberatkan umat-Nya, Dia akan memberikan pahala yang lebih besar dan kelaulah dengan hukum ini lebih meringankan, hal itu merupakan keringanan bagi hamba-hamban-Nya.[6]





BAB III
PENUTUP
3.1. kesimpulan
            Nasikh merupakan membatalkan, menghapu, dan memindahkan, sedangkan masuk adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan.terdapat ayat-ayat di dalam al-qur’an yang merupakan nasikh mansuk seperti diantaranya surah al-baqarah yang membahas tentang kiblat shalat. Dan sebagaimana muhammad abu zahrah membagi naskh menjadi empat macam yaitu,Sharih,dhimmy, juz’i, dan kulli. Serta hikmah adanya nasikh dan mansukh diantaranya :
1.      Menjaga kemaslahatan hamba
2.      Pengembangan pensyariattan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kwalitas keimanan mukhalaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.

3.2.saran
            Demikian makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan maupun dalam penulisan saya mohon maaf, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang ditulis ini lebih baik di masa mendatang.  





DAFTAR PUSTAKA

Chirzin,Muhammad.1998. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Ash-Shabuni, Ali.M.1985. Tafsir Ayat-ayat Ahkam. Surabaya : Bina Ilmu.
Ulumul Qur’an Tarbiyah ,editan 2.
            Nizhan,Abu. 2008. Buku Pintar AL-Qur’an. Jakarta : Qultum Media.



[1] Muhammad Chirzin,1998,Al-qur’an dan Ulumul qur’an, yogyakarta:PT Dana Bhakti Prima Yasa,hlm.39-40.
[2] M.ali Ash Shabuni,1985,Tafsir Ayat-ayat Ahkam,Surabaya:Bina Ilmu,hlm.58.
[3] Ulum Al-qur’an Tarbiyah (editan 2),hal.56.
[4] Ulum Al-qur’an Tarbiyah (editan 2),hal.57.

[5] Abu Nizhan,2008,Buku pintar al-Qur’an,Jakarta:qultum media,hlm.39-41.
[6] Abu Nizhan,2008,Buku pintar al-Qur’an,Jakarta:qultum media,hlm.41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar